Karya : Defira Ayu Widya Mustika
Kelas : XI AKSELERASI
(Bikinnya niat ngga niat =.=)
“Di
ujung gunung itu. Tempat pertama aku menemukan sebuah rahasia. Sebuah
pengalaman yang tak bisa ku lupakan , sampai aku kembali kesini.” Katanya
menunjukkan sebuah foto lama yang berada di album hitam yang sedari tadi
dipeluknya.
Dalam
benakku menyimpan sebuah tanya. Apakah rahasia itu sangat berarti baginya? Ku
tepuk pundaknya yang lumayan lebih rendah daripada pundakku. Wajah manis nya
terbasahi dengan air mata yang menetes deras dari bola mata indahnya. Matanya
yang cokelat tak membuat nya sayu dan lesu saat menangis. Ini sesuatu yang
istimewa. Pemandangan sebuah hujan kerinduan dalam langit keheningan.
“Aku
mungkin tidak tau betapa rindunya kamu pada rahasia itu. Tapi , aku merasakannya
lewat air mata yang kau keluarkan.” Kataku membelai rambutnya.
Alam
seperti turut bercerita seiring derasnya hujan diluar sana. Kamar ini serasa
luas bagiku. Cantik dengan ribuan semangat walau keadaan fisiknya tak
mendukung. Perempuan itu menyandarkan kepalanya padaku. Ku rangkul pundak
kanannya dengan penuh kasih sayang. Kasih sayang yang mungkin tidak dia
ketahui. Jika aku bisa dengan hebat
menarik hati wanita, aku akan memilihnya untuk menjadi satu-satunya orang yang
bersandar dipundakku.
Angin
hujan menghembuskan tirai merah di jendela kamarnya. Wajah cantik nya seketika
menoleh kearah jendela. Segera aku berdiri menutup jendela . Dia menatap ku
seraya menghapus air matanya.
“Aku ingin pergi kesana lagi.” Katanya tiba-tiba.
“Aku ingin pergi kesana lagi.” Katanya tiba-tiba.
Aku
mendekatinya yang sedari tadi duduk di tepi tempat tidur. Ku genggam tangannya
dengan menatap wajah manis yang tengah bersemangat itu.
“Apa kamu yakin? Kau belum dinyatakan sehat dengan keadaanmu yang seperti sekarang ini.” Kataku cemas.
“Apa kamu yakin? Kau belum dinyatakan sehat dengan keadaanmu yang seperti sekarang ini.” Kataku cemas.
“Kak,
kau tau kan aku gadis yang kuat? Kau selalu bilang , aku sangat bersemangat
terhadap apapun walau itu sulit. Ini hal yang mudah. Hanya dengan pergi kesana
, bertemu dengan rahasia itu. Aku rindu rahasia itu . Nanti kakak akan tau apa
rahasia yang ku ceritakan selama ini.” Katanya tersenyum.
Aku
terdiam beku mendengar kata-katanya. Tekadnya bulat , dan tidak bisa dipatahkan
begitu saja. Aku mengenalinya sejak lama . Aku tau dia gadis yang seperti apa.
Kesusahan yang selama ini menimpa nya tak pernah dianggap sebagai rintangan
yang sulit.
Masih
jelas kuingat ketika kecelakaan yang menimpa kedua orangtuanya. Saat itu
umurnya masih 13 tahun. Aku tau hatinya perih, namun Ia tetap berusaha
tersenyum dalam hatinya yang miris.
“Ini
bukan kiamat. Ini belum berakhir. Semua bisa kita lalui dengan bertahan hidup
bersama keyakinan kita. Ya, aku memang merasa kehilangan, aku sedih. Tapi,
dengan menangis tidak akan membuat Ami dan Abi kembali disini. Tidak akan
membuat mereka berada disampingku lagi. Mereka tidak akan datang untuk
membelaiku. Dan aku yakin, Ami dan Abi selalu menunggu kedatangan ku disana.
Mereka sayang padaku. Tuhan sayang Ami dan Abi. Tuhan tidak akan membiarkan Ami
dan Abi kesakitan, maka dari itu Tuhan menyelamatkan mereka dari rasa sakit
itu.”
Kata-kata
itu tak pernah hilang dari telingaku. Gadis yang menarik hatiku secara
perlahan. Gadis yang mulia dimataku. Gadis yang selama ini membuat ku untuk
memberi semua rasa yang ada disini. Gadis teman kecilku. Aku mengaguminya bukan
hanya dari parasnya. Dan sekali lagi aku mengatakan bahwa Ia merupakan gadis
yang kuat.
“Kakak
bersedia temani aku kan? Nanti disana kita akan menginap di rumah opung angkat
aku. Beliau yang seringf merawat aku disana. Opung aku baik kok. Dia sayang
aku. Aku sudah banyak bercerita tentang kakak kepada opung. Pasti opung senang
bisa bertemu kakak. Opung kepengen banget ketemu kakak.” Gadis 18 tahun itu
tersenyum kepadaku.
“Benarkah
ceritamu ,Ra? Jika benar begitu, aku
akan membuat opungmu lebih bahagia.” Kataku tertawa.
“Hehe.
Jadi tambah sayang sama kakak .” katanya bercanda.
Aku
tersenyum. Aku harap gurauannya tidak hanya sekedar bergurau. Kata-kata itu aku
anggap seindah wajahnya. Mungkin bagi dia akan berlebihan, tapi ini adalah rasa
yang alami di rasakan oleh setiap manusia yang ada di dunia.
Empat
tahun. Selisih yang tidak jauh jika kami menjalani hubungan dan mengembangkan
rasa satu sama lain. Tapi, hanya aku yang mengharapkan seperti itu. Yah, aku
tau dia menganggapku sudah sebagai kakaknya sendiri. Jika gadis manis itu
mengetahui semua ini, mungkin dia akan emnganggap rasa ini sebagai rasa yang
tidak wajar. Sangat tidak wajar.
Tuhanpun
akan marah jika rasa ini akhirnya terus berkembang. Namun. Matanya, hidungnya,
tangisnya, senyumnya, candanya, semua telah melekat pada keseharianku. Ini
membuatku sulit untuk berfikir. Aku tidak pernah menyalahkan Tuhan dengan rasa
yang ada saat ini. Bahkan aku malah bersyukur, Tuhan memberiku sesuatu yang
special. Sesuatu yang berbeda dimana hanya manusia manusia tertentu saja yang
bisa merasakan hal seperti ini.
Walau
terkadang aku merasa ganjil dengan semua ini, aku tidak pernah meminta Tuhan
untuk menghapus memori ku, menghapus semua yang ada dipikiranku tentangnya.
Namun, jika dipikir kembali secara nalar, ini tidak akan mungkin dirasakan pada
gadis lain. Bagaimana mungkin aku mencintai Nara, sepupu perempuanku sendiri.
Aku
terlahir sebagai gadis yang cacat rasa. Entah sejak kapan rasa ini ada. Jika
aku terbangun ketika malam, aku merasa bahwa aku adalah gadis yang cacat
seutuhnya. Gadis tak tau diri dan perasaan labil. Terkadang ini semua membuat
aku menangis, apalagi ketika aku mengingat senyum Nara yang manis serta gelak
tawanya yang anggun.
Tibalah
hari yang ditunggu, kami berkemas pergi ke daerah yang dituju. Ini merupakan
hari yang indah untuk kami, tentu dengan maksud yang berbeda. Semua terasa
nyaman ketika perjalanan melewati banyak petak sawah yang luas, dihiasi satu
batang nyiur hijau ditengah luasnya petak.
Kulihat
cerianya mata Nara membuatnya semakin cantik. Tak bisa kupungkiri Gadis ini
memiliki aura lebih dari yang lain. Cantiknya terpancar ketika sinar matahari
menyelinap dari kaca mobil mengenai wajahnya. Kupandang wajah eloknya dengan
sepenuh hati. Pedih. Gadis it uterus tersenyum dalam kebahagiaannya.
“Kak,
liat deh. Itu dia gunung nya udah keliatan. Nanti kita kesana ya.” Katanya
mengajakku.
“Bagus.
Tapi apa kau kuat? Ku belum sehat betul. Apa tidak lebih baik jika kita
beristirahat di rumah opung mu?” kataku.
“Yaaahh..
emm, aku mau langsung kesana ,Kak. Aku merindukannya.” Katanya kecewa.
“Sabar
sayang. Kalau keadaanmu membaik, kita akan kesana. Tidak jauh kan dari rumah
opungmu?” tanyaku.
“emm,
tidak kok ,Kak. Tapi bener ya kakak mau nemenin aku kesana.” Katanya tersenyum.
“Iya.
Kakak temenin kamu kok.” Kataku meyakinkan.
Tiba
dirumah yang dituju. Aku segera memakirkan mobil dihalaman rumah yang sangat
luas. Sebuah rumah yang nampak tua, namun bersih dan rapih. Nampaknya sang
pemilik adalah orang yang rajin. Nara segera keluar dari mobil dan berlari
kearah pintu rumah.
“Opuuuung…!
Opuuung…!” Nara mengetuk pintu sambil berteriak semangat.
“Nara,
sabar dong. Jangan teriak-teriak gitu. Ngga’ sopan tau.” Kataku.
“Emm..
iya ,Kak. Maaf. Nara udah ngga sabar .” katanya tersenyum.
Tak
lama kemudian terdengar langkah kaki dari dalam rumah. Seraya membuka pintu,
orang yang ada didalam mendongokkan kepalanya keluar. Beliau nampak tua, tapi
badannya tegap, sepertinya waktu muda beliau rajin berolahraga.
“Opuuung..!”Spontan
Nara memeluk pria tua itu.
“Subhanallah
,Nara. Kenapa kamu tidak bilang kalau mau kerumah ,Opung. Kan Opung bisa
beres-beres dulu.” Kata lelaki itu membalas pelukan Nara.
“Oiya,
Opung. Ini Kak Dika, yang sering Nara ceritakan.” Nara melepaskan pelukan.
“Apa
kabar ,Opung. Saya Dika.” Kataku tersenyum seraya menjabat tangan lelaki itu.
“Wahh,
ini yang namanya Dika. Cantik ya. Pasti banyak laki-laki disini yang akan jatuh
cinta kepadamu.” Kata Opung.
“Hehehe.
Ahh, engga’ juga. Opung ini bisa saja.” Kataku tersipu.
Aku
merasa rishi terhadap perkataan Opung tentang banyak laki-laki yang akan jatuh
cinta kepadaku. Padahal aku hanya menyukai Nara. Rasa tak wajarku mulai muncul.
Ini mengerikan. Ini menjijikkan mungkin bagi gadis-gadis lain disekitarku.
Namun, hanya aku yang tau tentang ini. Andai ada yang melarangku untuk jatuh
cinta pada Nara, maka orang itu sama saja membunuh karakterku.
Opung
mempersilahkan kami untuk masuk dan menyiapkan kamar untuk kami. Rumahnya
begitu luas untuk ditinggali satu orang. Terdiri dari empat kamar, yang tidak
tau kamar siapa saja itu. Ruang tamunya dihiasi vas bunga indah yang terdapat
disetiap sudutnya. Tertata rapih semua perabotan-perabotan antik miliknya.
Lukisan pemandangan yang terdapat di dinding ruang tengahnya tampak bersih.
Sepertinya setiap hari lukisan tersebut dibersihkan kacanya.
Keesokan
harinya, kami berkemas seadanya untuk pergi ke tepi gunung yang Nara maksudkan.
Opung membuatkan perbekalan untuk kami. Beberapa pisang goreng hangat, dua
botol air teh hangat dan beberapa jenis
makanan ringan lain.
Nara
tampak sangat cantik hari ini. Sepertinya dia berdandan total . Namun, Ia tetap
menggunakan tampulan naturalnya. Dengan topi pantai warna hijau kesayangannya.
Ia memakai baju lengan pendek dan rok selutut berwarna hijau bercorak orange.
Nuansa desa yang dibuatnya membuat kecantikannya memancar lebih indah.
Nara
menenteng satu kantong pisang goring, dan aku membantunya membawa dua botol air
teh hangat dan makanan ringan lainnya.
Dia berlari-lari kecil disepanjang perjalanan. Sepertinya Nara sudah tidak
sabar ingin sampai ketempat itu.
Aku
hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkahnya. Gadis ceria itu sama
sekali tidak menoleh kebelakang.
“Nara,
pelan-pelan dong. Slow aja jalannya. Kakak cape’ nih.” Kataku padaya.
“Kakak,
cepetan dong jalannya. Mana macho nya?” kata Nara meledek.
“Aish.
Dasar.” Kataku merengut.
Tiba
di tepi gunung. Sepi. Tidak ada siapapun disana. Nara yang sedari tadi tertawa
nampak kecewa.
“Sepertinya
kita terlalu cepat kesini.” Nara menekuk wajanya.
“Loh?
Kenapa Nara? Mana rahasiamu?” tanyaku penasaran.
“Dia
belum datang.” Katanya sedih.
“Dia?
Jadi rahasia itu adalah seseorang?” tanyaku.
“Iya
seseorang. Tapi bukan sembarang orang. Dia orang yang istimewa dimataku. Dia
baik. Dia tampan.” Katanya tersenyum.
Aku
sangat kecewa mendengar perkataanya. Namun, apa boleh buat? Aku hanya manusia
bodoh yang memiliki perasaan kotor. Aku tak sanggup mengendalikan perasaanku
sendiri. Jika andai sekarang aku mati, mungkin aku akan menutup wajahku dengan
dosa-dosa ku akan perasaan ini.
Betapa
tidak? Nasib seorang penyuka sesama , dari dulu hingga sekarang tidak akan
memiliki kehidupan yang nyaman, tenteram, dan damai. Ingin sekali aku
mengatakan “Nara, aku cinta kamu.” Tapi aku tidak ingin menerima resiko
selanjutnya. Aku tidak ingin Nara menjauh dariku. Dia sangat berharga walaupun
tidak akan jadi milikku.
Akan
kusimpan semu rasa ini demi kebahagiaanmu. Tidak akan aku beritahu atau
bercerita kepada orang lain. Tahukah Nara, aku malu menjadi wanita seperti ini.
Semangatlah melawan semua penyakitmu, dan jatuh cintalah pada orang yang pantas
untukmu.